• EnglishEnglish
  • Bahasa IndonesiaBahasa Indonesia
  • IT Center
Universitas Gadjah Mada Perkumpulan Prodi Sejarah
se-Indonesia | PPSI
  • Home
  • Tentang PPSI
    • Sejarah PPSI
    • Visi Misi
    • Struktur Pengurus
    • Anggaran Dasar (AD)
    • Anggaran Rumah Tangga (ART)
    • Program Kerja
  • Prodi Sejarah
    • Prodi Ilmu Sejarah
    • Prodi Pendidikan Sejarah
    • Prodi Peradaban Islam
    • Kegiatan Prodi
    • Sumber Daya Manusia
    • Surat Perjanjian Kerjasama
  • Agenda & Berita
    • Berita
    • Informasi
    • Agenda
  • Publikasi
    • Jurnal Ilmiah
    • Penerbitan Ilmiah & Populer
  • Galery
  • Beranda
  • Berita
  • Stovia dan Kisah Kehidupan Sehari-hari Calon Dokter di Hindia Belanda

Stovia dan Kisah Kehidupan Sehari-hari Calon Dokter di Hindia Belanda

  • Berita
  • 27 Desember 2017, 14.05
  • Oleh : admin

Sejarah kedokteran Indonesia tidak bisa lepas dari Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera atau STOVIA. Sekolah ini melahirkan dokter-dokter mumpuni yang berjasa bagi dunia kedokteran yang karyanya masih bisa kita nikmati hingga sekarang.

STOVIA juga bukan melulu soal belajar menjadi dokter. Lebih dari itu, sekolah ini menjadi cikal bakal bangkitnya kesadaran dan kebangkitan semangat perjuangan di kalangan dokter. Namun dibalik itu semua tak banyak yang terungkap soal bagaimana seluk beluk kehidupan sehari-hari calon dokter di masa itu.

“Kehidupan sehari-hari yang dijalani para siswa STOVIA ini merupakan hal menarik untuk diceritakan. Selain belum banyak yang mengungkapkannya, dengan mengetahui kehidupan sehari-sehari mereka, kita bisa mengetahui bagaimana pemikiran mereka terbentuk,” kata Dieka W. Mardheni, pemakalah pada acara 60 tahun Seminar Sejarah Nasional yang berlangsung 14-16 Desember 2017 di Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Dalam presentasinya yang berjudul Di Antara Tradisi dan Modernitas : Kehidupan Sehari-hari Siswa Kedokteran (Eleve) di Batavia 1851-1927, ia memaparkan aktivitas yang dijalani siswa dan juga beberapa peraturan yang berlaku di sekolah itu.

Peraturan Ketat

Sebagai siswa STOVIA, ternyata para calon dokter ini diwajibkan untuk tinggal di asrama dan harus menaati aturan-aturan yang berlaku. Aktivitas mereka dimulai dari jam 8.00-22.00. Mereka juga diwajibkan untuk menggunakan pakaian adat masing-masing daerah.

Misalnya siswa dari melayu akan menggunakan peci sementara baju boleh memakai model baju Eropa. Lain lagi dengan siswa dari Jawa, mereka akan mengenakan baju adat Jawa mulai dari kain hingga blangkon. Di waktu senggang para siswa boleh memanfaatkan ruang rekreasi yang sudah disiapkan untuk mereka.

“Salah satu bagian di STOVIA digunakan sebagai ruang rekreasi untuk para siswanya. Ruang rekreasi ini terbilang komplit, ada meja biliyar, tempat membaca buku. Mereka juga difasilitasi dengan ruang olah raga contohnya lapangan tenis,” terang Dieka.

Barulah saat akhir pekan mereka diijinkan keluar asrama untuk kegiatan bebas. “Dan sama seperti saat ini para siswa pun juga jalan-jalan dan nonton bioskop,” imbuhnya. Tetapi meski bebas beraktifitas diluar asrama, bukan berarti mereka benar-benar lepas dari aturan. Mereka tetap di wajibkan mengenakan atribut yang menunjukkan bahwa mereka adalah siswa STOVIA. Seperti topi dan pin yang harus terpasang di baju mereka. Kalau ketahuan melanggar aturan-aturan tersebut para siswa terancam kena hukuman. Bisa dikurung atau denda sekitar 0,25 gulden.

Beberapa siswa tak luput dari hukuman itu. Contohnya saja Ki Hadjar Dewantara yang pernah dihukum dikurung di kamar selama dua hari karena menyalakan petasan. Lain lagi dengan Soetomo yang nyaris dikeluarkan dari STOVIA karena terlalu aktif berorganisasi.

Pendirian STOVIA

Pendirian sekolah dokter tak lepas dari sebuah peristiwa yang terjadi pada tahun 1800an. Saat itu wabah menyerang Jawa. Pemerintah Hindia Belanda yang merasa kewalahan menanganinya kemudian mengusulkan untuk mendirikan Sekolah Dokter Jawa pada tahun 1847 untuk mengatasi kondisi tersebut. Meski lulusannya bergelar dokter, tetapi sebenarnya siswa dididik untuk menjadi ahli vaksin atau mantri.

“Mendatangkan dokter dari Belanda itu mahal dan belum tentu mereka mau ke Hindia Belanda. Terlebih lagi waktu yang lama hingga akhirnya tiba di Hindia Belanda,” ujar Dieka ditemui Kompas.com seusai presentasi. Seiring dengan perkembangan serta kebutuhan untuk pelayanan medis, Sekolah Dokter Jawa berubah nama menjadi School tot Opleiding van Indische Artsen atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera (STOVIA) pada tahun 1902 dengan masa pendidikan selama 9 tahun. Lulusannya mendapat gelar Dokter Bumiputera.

 

Diterbitkan ulang dari sumber: Kompas.com dengan judul “STOVIA dan Kisah Kehidupan Sehari-hari Calon Dokter di Hindia Belanda”, https://sains.kompas.com/read/2017/12/19/203500923/stovia-dan-kisah-kehidupan-sehari-hari-calon-dokter-di-hindia-belanda.

Tags: Hindia Belanda Sejarah Stovia

Tinggalkan Komentar Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

Berita

  • Buku Dinamika Tradisi Keberagamaan di Nusantara
    7 Februari 2023
  • Buku Peran Jawa (Bagian) Timur Dalam Jaringan Jalur Rempah
    25 Januari 2023
  • Buku Negeri di Ujung Utara Nusantara
    25 Januari 2023
  • Buku Gerakan Puritanisme di Kepulauan Persatuan Islam di Pulau Sapeken Sumenep Madura
    22 Januari 2023
  • PPSI Mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek 2574
    22 Januari 2023
Universitas Gadjah Mada
Perkumpulan Prodi Sejarah se-Indonesia | PPSI
Sekretariat Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Gedung 3 Lantai III, kampus UI, Depok 16242, Jawa Barat.
 
sekretariat.ppsi@gmail.com
+62 (274) 588688
+62 (274) 565223
+62 811 2869 988

Link Eksternal

  • Perpusnas
  • Anri
  • MSI
  • KITLV
  • Dirjen Kebudayaan
  • Simlitabmas
  • P3SI

Media Sosial

 

 

© Perkumpulan Prodi Sejarah se-Indonesia

Deploy server by RumahHost.com